Sabtu, 25 April 2015

Rumah Adat Karo Cerminan Arsitektur Budaya

Gubuk yang awalnya hanya berdiri satu diladang dan disekitar gubuk tersebut dipagar untuk keamanan kegiatan usaha bertani agar terhindar dari gangguan-gangguan binatang buas, disebut Barung. Penghuni barung bertambah banyak karena hadirnya pendatang baru dan menempelkan dinding baru pada dinding gubuk sebagai tempat tinggal. Pertambahan penghuni gubuk kian berkembang menjadikan barung-barung yang berdiri tersebut membentuk sebuah rumah. Ruangan luas dengan empat dapur yang dihuni oleh 4, 8 sampai 16 keluarga. Delapan keluarga dalam satu rumah inilah yang paling sering kita kenal dengan sebutan Siwaluh Jabu. Dikatakan sebagai rumah adat karena para penghuninya bermusyarah di dalam rumah tersebut, menetapkan, memutuskan aturan hidup yang harmonis untuk saling menghargai, menghormati, menjaga kesopan-santunan, etika, kesusilaan, keamanan. Keputusan itu tidak tertulis tetapi diaksanakan secara konsekuen yang kemudian diwariskan kepada generasi selanjutnya dengan berbagai sangsi dan bagi pelanggarnya, maka itu disebut adat. Sebelum mendirikan rumah maka diadakan musyawarah diantara delapan keluarga penghuninya untuk menghindari sesuatu hal yang tidak di inginkan.
pembagian jabu(keluarga) pada setiap kepala keluarga sebagai berikut:
  1. Jabu bena kayu
Ruangan ini ditempati oleh pimpinan dalam rumah si waluh jabu dengan sebutan pengulu rumah. Bagi masyarakat Karo pengertian pengulu berasal dari kata “lulu” (ngelului) adalah si pelindung, mencari, pengatur kedamaian dan ketentraman atau pengayom bagi anggota-anggotanya. Mencari anggota-anggotanya yang belum pulang karena berpergian tanpa pamit, menyelesaikan atau mendamaikan suatu perkara yang terjadi diantara sesama, mengatur dan bergantian “jaga kerin” rumah (menjaga rumah seharian penuh).
  1. Jabu ujung kayu
Ditempati anak beru yang bertugas menyampaikan momo (pengumuman) dari pengulu atau ada kalanya mewakili pengulu pada saat berhalangan. Membantu tugas pengulu rumah.
  1. Jabu lepar bena kayu
Ditempati oleh senina atau anak pengulu. Dalam tugasnya disebut juga sebagai “Jabu sungkun berita” karena selalu berusaha mendapatkan berita mengenai keadaan lingkungan seperti adanya pihak lain yang ingin merencanaka pencurian, kegaduhan, penyerangan, dll. Pelaksanaan tugas ini haruslah dituju orang-orang yang jujur dan dapat dipercayai. Tugasnya sama seperti “intel” kalau jaman sekarang ini.
  1. Jabu lepar ujung kayu
Ditempati oleh Kalimbubu bertugas menyambut tamu, memberi makan dan minum bagi pendatang baru. Disebut juga “Jabu si mangan mulih”. Masing-masing dari jabu memberikan sebagian dari hasil yang diperolehnya baik dari pertanian, perburuan dll.
  1. Jabu upah tendi.
Ditempati anak kalimbubu, sedapur dengan jabu ujung kayu. Juga disebut “Jabu ari teneng” karena memberi ketenangan sejalan dengan kepercayaan masyrakat bahwa roh atau tendi manusia itu sering berpergian meyebabkan timbul bala atau penyakit. Setelah diberi upah tempat tinggal keadaan tendi menjadi tenang menempati tempatnya (upah tendi). Penghuni rumah merasa aman dan tidak ada lagi yang berpergian.
  1. Jabu peninggel-ninggel
Ditempati oleh anak beru menteri sedapur dengan jabu bena kayu. Bertugas mendengarkan dengan cermat serta mengingat hasil keputusan runggu (musyawarah) dan menjadi saksi bila terjadi suatu penyimpangan.
  1. Jabu bicara guru
Jabu ini ditempati orang-orang yang mengerti tentang kerohanian seperti guru sibero, guru sibeluh niktik wari, guru si beluh nambari pinakit, dll. Sedapur dengan jabu simangan mulih.
  1. Jabu si engkapuri belo,ditempati oleh anak dari anak beru. Sedapur dengan jabu leper bena kayu. Bertugas menerima tamu pengulu (ndudurken belo, ngakpuri belo, petuturken dll).
Masing-masing keluarga menempati ruangannya (jabuna) masing-masing dengan aman dan tertib dengan dibatasi tirai kain atau tikar. Untuk menjaga keharmonisan yang seimbang dalam hubungan keluarga diadakan rebu.Seseorang tidak bebas mengadakan kontak langsung, ada pembatas semu yang mencegahnya untuk menghindari hal-hal emosional. Seperti contoh antara kela (menantu) laki-laki dengan mami-nya (ibu mertua), jangankan mengobrol, duduk dalam satu baris papan rumah saja dilarang. Ketetapan ini juga termasuk satu dari sembilang larangan dalam masyarakat Karo yang disebut Sumbang si siwah. Ketetapan itu dianggap sangat penting untuk mejaga etika, kehormatan, harga diri, kesopanan, moral antra individu dll. Pelanggaran atas ketetapan tersebut tentu dikenakan sangsi. Semua tatanan berakhir kembali di dalam runggu untuk memutuskan suatu sangsi atau denda. Rumah adat merupakan sumber awal dari kekuasaan memerintah dimana warganya turut ikhlas memberikan kedaulatannya, hak-hak kebebasannya serta mengikatkan diri salam satu kesatuan untuk dipimpin. Bertambah banyak rumah adat berdiri, bertambah luas ruang lingkup pemerintah.
Sapo Page.
Jenis bangunan ini dulunya sangat banyak terdapat di beranda rumah adat Siwaluh Jabu.
Kalau diperhatikan bangunan ini bertingkat. Tingkat dasar umumnya digunakan sebagai tempat berteduh orang kampung, bercerita antar sesama orang muda, tempat mengadakan runggu (musyawarah), juga tempat untuk menenun bagi anak gadis Karo.
Pada tingkat bagian kedua merupakan tempat menyimpan padi (Lumbung). Namun pintu untuk memasukkan hasil padinya ada di tingkat ketiga.
Ditingkat ketiga merupakan tempat tidur untuk anak-anak lajang di Taneh Karo. Umumnya dahulu, anak lajang yang sudah berusia 15-20 tahun atau pemuda Karo yang belum berkeluarga tidak akan tidur lagi di rumah adat Karo bersama sanak saudaranya yang lain, melainkan tidur di atas sapo page maupun jambur. (Kriswanto Ginting’s)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar